INILAHCOM, Jakarta - Kewajiban pemerintah daerah memiliki Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR) pada 2019 dinilai banyak kekeliruan. Pembinaan dan pengawasan Kepala Daerah harus dioptimalkan.
Pakta Konsumen, Harry Cahya mengatakan, berdasarkan catatanya, saat ini Perda KTR berada di 258 daerah dan 60 persenya sudah diberlakukan. Namun sifatnya bukan pengaturan, melainkan pelarangan.
Dimana, ruang lingkup penjual dan perokok diperkecil hingga membuat rokok menjadi seperti barang ilegal. Apalagi, ruang khusus merokok tidak diakomodir dalam Perda tersebut.
Padahal, kata Harry, dalam peraturan Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 dan Undang-Undang 2009 tentang kesehatan, secara terperinci mewajibkan produsen rokok mencantumkan bahaya merokok dalam kemasan, gambar dampak buruk merokok, kandungan tar dan nikotin, hingga pemasangan iklan rokok dan penetapan kawasan tanpa rokok.
"Kami meminta Perda KTR yang tidak singkron dibatalkan. Kami melihat Semangat Perda KTR bukan lagi sebagai instrument penataan, tetapi pelarangan," kata Harry dalam diskusi 'Inkonsisntensi Hukum Nasional Daerah dan kepastian Usaha' yang diselenggarakan Jakarta Discussion Forum di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (27/11/2017).
Harry menjelaskan, dalam proses pembuatan Perda, konsumen tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi. Padahal, konsumen rokok memberikan kontribusi yang signifikan. Pada 2016 saja, penerimaan negara dari cukai rokok sekitar 9 persen.
Artinya, lanjut Hary, apabila rokok dianggap produk ilegal, mengaapa pajak cukai rokok menjadi kontributor pemasukan APBN yang signifikan. Jika produk rokok tetap sebagai produk legal meski harus diawasi, mengapa substansi Perda bersemangat untuk memusnahkan.
"Kami tidak alergi dengan Perda, tapi seharusnya bersemangat dan bertujuan untuk penataan. Sosialisasi harus tegas diatur dalam pasal karena itu merupakan edukasi kontruktif," ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Litbang Asosiasi Pedangang Pasar Seluruh Indonesia, Sjukrianto Yulia menyebut bahwa setidaknya ada 10-15 persen penurunan omset pedagang rokok akibat adanya Perda KTR yang sifatnya melarang.
Hal itu terjadi di Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan penelusurannya, Sjukrianto melihat penjual tidak boleh lagi menjual rokok dengan display lantaran dalam Perda diatur demikian.
"Kepala daerah seperti terlihat pencitraan karena berpihak kepada orang sehat. Mencari popularitas, tapi lupa kebijakanya berimbas kepada orang yang hidup dari penjaualn itu," ungkapnya.
Sebanyak 13.450 pasar tradisional di Inonesia, kata sjukri, terdapat sebanyak 12,6 Juta pedagang yang 2 juta diantaranya penjual klontong. Dari 2 juta penjual klontong tersebut, 10 -15 persenya penjual rokok. Omset mereka, kata dia, mencapai 40-70 persen yang diserap oleh negara.
"Kalau semua Perda sifatnya memusnahkan, bagaimana mereka bertahan hidup. Penjual rokok belum tentu merokok," ujarnya.
Direktur Direktorat Produk Hukum Daerah, Kurniasih membantah bahwa ada inskonsitensi peraturan daerah dengan peraturan diatasnya. Menurutnya, tidak mengacunya regulasi yang dibuat daerah dengan peraturan diatasnya itu akibat minimnya sosialisasi.
Kurniasih mengakui ada beberapa daerah yang membuat regulasi karena minimny sosialisasi akhirnya menghilangkan kata dapat. Misalnya saja peraturan pemerintah menyebut dapat dilarang di beberapa tempat. Namun, impelmentasi Perda menjadi dilarang dibeberpaa tempat saja.
"Perda KTR perlu disikapi dengan bijak, singkronisasi antara aturan yang lebih tinggi dan keinginan daerah untuk mengatur perlu dilakukan sosialisasi dan optimalisasi pembinaan dan pengawasan Pemerintah pusat. Sehingga hubungan pusat dan daerah berjalan selaras," jelasnya.[jat]
Baca Kelanjutan Perda KTR tak Singkron dan Harus Dibatalkan : http://ini.la/2420933Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perda KTR tak Singkron dan Harus Dibatalkan"
Posting Komentar